Kesedihan Semu

Arya Wicaksana
3 min readDec 16, 2021

--

Ilustrasi kesedihan semu. (Pexels/ibraim leon/Arya)

Mengapa banyak orang meluapkan kesedihan mendalam saat ada publik figur (artis, atlet dsb) yang meninggal dunia, dibanding jika ada tetangga atau keluarga yang mati?

Ada yang bilang, saya berduka selebgram A meninggal karena dia baik, setia sama suami dan alasan lainnya. Dia lalu menumpahkan kesedihannya lewat emoji-emoji. Ada bahkan menangis sesedih-sedihnya. Lucunya, mereka tidak saling kenal apalagi di-follback.

Sementara, ada tetangga atau kerabat yang mati, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa berduka ataupun merasa kehilangan. Setidaknya ia melayat. Alih-alih sedih, menulis “innalillah” di media sosial sekadar bahasa basa-basi tidak ada.

Padahal, belum tentu tetangga yang mati tidak meninggalkan masalah yang lebih pelik dibanding idola yang bermil-mil jauhnya dari kita.

Mungkin Anda sedih, sebab selebgram ini lebih sering muncul di depan mata dibanding tetangga. Alasan itu cocok dan masuk akal. Tetapi, kesedihan itu tidak ada artinya. Semu!

Kesedihan yang kita rasa dan sampaikan adalah hasil konstruksi visual. Kesedihan yang difasilitasi kemajuan teknologi informasi. Rasa duka yang tidak dibangun berdasar interaksi sosial yang intim.

Seharusnya, kita bisa lebih merasa sedih pada kematian orang-orang di sekitar. Datang melayat untuk membagi duka, menghibur semampunya dan tentu, sebagai pengingat bahwa kita semua akan menyusul. Itu lebih mulia. Ketimbang tenggelam dalam kedukaan semu di dunia maya.

Sadar atau tidak, tetanggalah yang lebih awal bergegas jika terjadi sesuatu di rumah kita. Merekalah tempat awal kita meminta tolong, begitu juga pada keluarga dan kerabat. Bukan idola kita di layar kaca.

Tetangga punya dimensi yang terkadang tidak kita temukan pada keluarga. Di sana kita mengumbar gosip, meminjam penjolok, berbagi dan menerima makanan. Kemungkinan tetangga yang akan mengangkat jenazah kita ke kuburan.

Kasus peduli sama yang orang jauh, juga bisa dilihat ketika di belahan dunia lain terjadi peperangan. Contohnya Israel vs Palestina.

Kita mengekspresikan kemarahan, melontarkan kecaman. Pada saat yang sama, ada perbuatan pemerintah merampas hak hidup orang banyak dan kita diam atau pura-pura tidak tahu.

Memang kemanusiaan itu universal, apalagi di tengah dunia yang di-scroll. Tapi kepedulian ataupun kesedihan, idealnya diletakkan pada orang yang lebih dekat dari sekitar kita. Menaruh simpati kepada orang-orang dekat juga efeknya lebih terasa dibanding orang jauh.

Jangan semut di seberang sungai terlihat, tapi gajah di pelupuk mata tidak. Selebgram wafat hati terkoyak, tetangga dan atau keluarga mati terlewatkan begitu saja. Jika anda merasa demikian, kemungkinan ada yang salah dari “sense of humanity” kita.

Dari sini kita bisa menyadur hikmah, jika Anda sedang berduka atau tertimpa masalah lantas tetangga terlihat biasa-biasa saja, maka Anda segera instropeksi diri. Apakah Anda becus dalam berukun warga dan berukun tetangga?

Soal tetangga, Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bilang begini:

“Apakah kalian tahu hak tetangga?Jika tetanggamu meminta bantuan kepadamu, engkau harus menolongnya.”

“Jika dia meminta pinjaman, engkau meminjaminya. Jika dia fakir, engkau memberikan (bantuan) kepadanya. Jika dia sakit, maka engkau menjenguknya.”

“Jika dia meninggal, maka engkau mengantar jenazahnya.”

Wallahu a’lam bishawab.

** Makassar, 16 Desember 2021. Akun Instagram saya dipenuhi kesedihan

--

--

Arya Wicaksana
Arya Wicaksana

Written by Arya Wicaksana

Biasa-biasa saja. Penjual nasi kuning, kadang-kadang jadi kurir

No responses yet